Saturday, January 6, 2018


Pernah sekali saya menulis tentang konsumerisme. Ketika itu yang saya bahas adalah pengaruh iklan terhadap meningkatnya sikap konsumtif masyarakat terhadap item-item terkini.
Tulisan saya dahulu cukup menjadi pendahuluan untuk tulisan yang penulis posting kali ini.

Budaya konsumtif masyarakat erat hubungannya dengan penggunaan media sosial dan media-media periklanan lainnya (televisi, media cetak, billboard, dll) sebagai sarana pengenalan produk. Media-media tersebut sangat berpengaruh dengan daya beli masyarakat. Bermodal kata-kata dan pesan visual, masyarakat tertarik untuk membeli item tersebut. Alhasil, barang yang tidak dibutuhkan pun ikut terbeli. Inilah yang menjadi permasalahan dari adanya iklan yang menggiurkan.

Apabila dahulu barang-barang konsumsi didapatkan berdasarkan kebutuhan, kegunaan atau manfaatnya. Namun sekarang masyarakat membeli barang bukan lagi berdasarkan nilai guna dan nilai tukar, akan tetapi berdasarkan nilai tanda dan nilai simbol seperti yang dikatakan oleh ‘Jean Baudrillard’. Jadi makna ataupun tanda telah ditanamkan pada setiap produk yang disampaikan oleh iklan-iklan. Sehingga konsumen membeli barangan berdasarkan tanda yang telah ditanam tersebut. Tanda atau simbol yang dimaksud adalah berkaitan dengan gaya hidup seseorang.

Tema-tema gaya hidup seperti prestise, kelas, dan jabatan adalah makna-makna yang telah ditanamkan ke dalam barang-barang konsumsi. Artinya, barang konsumsi telah berubah menjadi seperangkat sistem kelas atau status di masyarakat. Bukan berarti kita menafikkan adanya kebutuhan dalam keseharian, akan tetapi menunjukkan bahwa mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya berangkat dari sistem nilai-tanda dan nilai-simbol, bukan lagi karena kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan. 

Dengan pernyataan itu penulis ingin mengatakan bahwa dalam masyarakat konsumer, konsumsi sebagai sistem pemaknaan tidak lagi diatur oleh faktor kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan, namun oleh seperangkat hasrat untuk mendapat kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah mekanisme penandaan. Ini jelas sudah melanda masyarakat dan menjadi budaya yang mengalir seakan nampak alamiah. Pada akhirnya kegunaan dan pelayanan bukanlah motif terakhir tindakan konsumsi, melainkan lebih kepada produksi dan manipulasi penanda-penanda sosial.

Identitas individu di masyarakat bukan lagi dilihat pada siapa dan apa yang dilakukannya, akan tetapi dilihat dari apa yang menjadi konsumsi, miliki, dan yang mereka tampilkan di masyarakat. Misalnya apabila yang dikonsumsi adalah barang yang dikatakan oleh pesan iklan sebagai ‘mewah’ maka itu akan menggambarkan kehidupan pemakai barang itu. Padahal, seringkali pemakai barang tidak sesuai dengan kehidupan sosial si pemakai itu. Sehingga gaya hidupnya hanya berupa simulasi belaka.

Contoh lain adalah kepemilikan handphone merk X oleh seseorang. Sekarang alat komunikasi tersebut tidak lagi didasarkan pada nilai guna dan nilai tukar barang itu, melainkan karena ia menjadi simbol gaya hidup, prestise, kemewahan dan status sosial pemiliknya. Sehingga banyak sekali merk barang yang dikenal dengan istilah ‘KaWe’ laris terjual di pasaran.

Dalam kebudayaan 'simulasi', nilai tanda dan nilai simbol saling menumpuk dan berkelindan membentuk satu kesatuan. Tidak dapat lagi dikenali mana yang real dan mana yang semu. Semuanya menjadi bagian realitas yang dijalani masyarakat dewasa ini. Kesatuan inilah yang disebut Baudrillard sebagai simulacra, sebuah dunia yang terbangun dari sengkarut nilai, fakta, tanda, citra dan kode. Realitas tak lagi punya referensi, kecuali simulacra itu sendiri.

Di era postmodern, prinsip simulasi menjadi senjata ampuh, dimana reproduksi menggantikan prinsip produksi. Sementara permainan tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses komunikasi. Dewasa ini memang sangat sulit sekali membedakan kenyataan dengan kesemuan. Sekat diantara keduanya sudah sangat tipis sekali. Pengiklan memainkan perannya untuk meraup untung dari produsen. Sedangkan produsen kebanjiran order dari geliat nafsu konsumen.

Berdasarkan wacana simulasi, manusia ini menempati ruang fantasi. Realitas yang dialami manusia sekarang adalah sebuah fiksi yang faktual. Realitas memang sengaja dimanipulasi menjadi ruang-ruang baru bagi manusia untuk mengaktualisasikan  dirinya. Melalui media seperti TV misalnya, gambaran-gambaran hidup ditampilkan di setiap jamnya. Terbangun secara sadar di benak manusia seakan gambaran hidup yang ideal adalah dengan segala simbol dan sampah visual yang ditampilkan di TV.

Realitas simulasi seperti ini membentuk sebuah kesadaran baru bagi masyarakat saat ini. Televisi disebut sebagai ‘artefak postmodernisme’ yang paling meyakinkan. Karena pada kenyataannya sama nyatanya dengan pelajaran ‘Sejarah atau Etika’ di sekolah. Sebab keduanya sama-sama menawarkan informasi dan membentuk pandangan serta gaya hidup manusia. Bahkan, sinetron ‘Anak Jalanan’ atau iklan Shampoo di televisi seolah-olah lebih ampuh daripada ajaran budi pekerti, moral dan agama dalam membantu manusia menemukan citra diri dan makna hidupnya.

Hidup hanyalah simulasi, fiktif sekali bukan?

(arn)





Dimohon komentator menggunakan bahasa yang sopan. Tidak merendahkan, memojokkan dan melecehkan kelompok lain. Terima Kasih
EmoticonEmoticon