Pernah
sekali saya menulis tentang konsumerisme. Ketika itu yang saya bahas adalah
pengaruh iklan terhadap meningkatnya sikap konsumtif masyarakat terhadap
item-item terkini.
Tulisan
saya dahulu cukup menjadi pendahuluan untuk tulisan yang penulis posting kali
ini.
Budaya
konsumtif masyarakat erat hubungannya dengan penggunaan media sosial dan
media-media periklanan lainnya (televisi, media cetak, billboard, dll) sebagai
sarana pengenalan produk. Media-media tersebut sangat berpengaruh dengan daya
beli masyarakat. Bermodal kata-kata dan pesan visual, masyarakat tertarik untuk
membeli item tersebut. Alhasil, barang yang tidak dibutuhkan pun ikut terbeli.
Inilah yang menjadi permasalahan dari adanya iklan yang menggiurkan.
Apabila
dahulu barang-barang konsumsi didapatkan berdasarkan kebutuhan, kegunaan atau
manfaatnya. Namun sekarang masyarakat membeli barang bukan lagi berdasarkan
nilai guna dan nilai tukar, akan tetapi berdasarkan nilai tanda dan nilai
simbol seperti yang dikatakan oleh ‘Jean Baudrillard’. Jadi makna ataupun tanda
telah ditanamkan pada setiap produk yang disampaikan oleh iklan-iklan. Sehingga
konsumen membeli barangan berdasarkan tanda yang telah ditanam tersebut. Tanda
atau simbol yang dimaksud adalah berkaitan dengan gaya hidup seseorang.
Tema-tema
gaya hidup seperti prestise, kelas, dan jabatan adalah makna-makna yang telah
ditanamkan ke dalam barang-barang konsumsi. Artinya, barang konsumsi telah
berubah menjadi seperangkat sistem kelas atau status di masyarakat. Bukan
berarti kita menafikkan adanya kebutuhan dalam keseharian, akan tetapi
menunjukkan bahwa mekanisme sistem konsumsi pada dasarnya berangkat dari
sistem nilai-tanda dan nilai-simbol, bukan lagi karena kebutuhan atau hasrat mendapat
kenikmatan.
Dengan pernyataan itu penulis ingin mengatakan bahwa dalam
masyarakat konsumer, konsumsi sebagai sistem pemaknaan tidak lagi diatur oleh
faktor kebutuhan atau hasrat mendapat kenikmatan, namun oleh seperangkat hasrat
untuk mendapat kehormatan, prestise, status dan identitas melalui sebuah
mekanisme penandaan. Ini jelas sudah melanda masyarakat dan menjadi budaya yang
mengalir seakan nampak alamiah. Pada akhirnya kegunaan dan pelayanan bukanlah
motif terakhir tindakan konsumsi, melainkan lebih kepada produksi dan
manipulasi penanda-penanda sosial.
Identitas individu di masyarakat bukan lagi dilihat pada
siapa dan apa yang dilakukannya, akan tetapi dilihat dari apa yang menjadi
konsumsi, miliki, dan yang mereka tampilkan di masyarakat. Misalnya apabila
yang dikonsumsi adalah barang yang dikatakan oleh pesan iklan sebagai ‘mewah’
maka itu akan menggambarkan kehidupan pemakai barang itu. Padahal, seringkali
pemakai barang tidak sesuai dengan kehidupan sosial si pemakai itu. Sehingga
gaya hidupnya hanya berupa simulasi belaka.
Contoh lain adalah kepemilikan handphone merk X oleh
seseorang. Sekarang alat komunikasi tersebut tidak lagi didasarkan pada nilai
guna dan nilai tukar barang itu, melainkan karena ia menjadi simbol gaya
hidup, prestise, kemewahan dan status sosial pemiliknya. Sehingga banyak sekali
merk barang yang dikenal dengan istilah ‘KaWe’ laris terjual di pasaran.
Dalam kebudayaan 'simulasi', nilai tanda dan nilai simbol saling menumpuk dan berkelindan
membentuk satu kesatuan. Tidak dapat lagi dikenali mana yang real dan mana yang
semu. Semuanya menjadi bagian realitas yang dijalani masyarakat dewasa ini.
Kesatuan inilah yang disebut Baudrillard sebagai simulacra, sebuah dunia yang terbangun dari sengkarut nilai,
fakta, tanda, citra dan kode. Realitas tak lagi punya referensi, kecuali simulacra itu sendiri.
Di era postmodern,
prinsip simulasi menjadi senjata ampuh, dimana reproduksi menggantikan prinsip
produksi. Sementara permainan tanda dan citra mendominasi hampir seluruh proses
komunikasi. Dewasa ini memang sangat sulit sekali membedakan kenyataan dengan
kesemuan. Sekat diantara keduanya sudah sangat tipis sekali. Pengiklan
memainkan perannya untuk meraup untung dari produsen. Sedangkan produsen
kebanjiran order dari geliat nafsu konsumen.
Berdasarkan wacana
simulasi, manusia ini menempati ruang fantasi. Realitas yang dialami manusia
sekarang adalah sebuah fiksi yang faktual. Realitas memang sengaja dimanipulasi
menjadi ruang-ruang baru bagi manusia untuk mengaktualisasikan dirinya. Melalui media seperti TV misalnya,
gambaran-gambaran hidup ditampilkan di setiap jamnya. Terbangun secara sadar di
benak manusia seakan gambaran hidup yang ideal adalah dengan segala simbol dan
sampah visual yang ditampilkan di TV.
Realitas
simulasi seperti ini membentuk sebuah kesadaran baru bagi masyarakat saat ini.
Televisi disebut sebagai ‘artefak postmodernisme’ yang paling meyakinkan. Karena
pada kenyataannya sama nyatanya dengan pelajaran ‘Sejarah atau Etika’ di
sekolah. Sebab keduanya sama-sama menawarkan informasi dan membentuk pandangan
serta gaya hidup manusia. Bahkan, sinetron ‘Anak Jalanan’ atau iklan Shampoo di
televisi seolah-olah lebih ampuh daripada ajaran budi pekerti, moral dan agama
dalam membantu manusia menemukan citra diri dan makna hidupnya.
Hidup
hanyalah simulasi, fiktif sekali bukan?
(arn)
Dimohon komentator menggunakan bahasa yang sopan. Tidak merendahkan, memojokkan dan melecehkan kelompok lain. Terima Kasih
EmoticonEmoticon