Wednesday, May 1, 2019



Philistinism: Kata ini tidak ada hubungan dengan Palestina. Filistinisme (begitulah saya menerjemahkannya) adalah sebuah sikap atau tindakan yang membenci atau tidak menghargai seni. Seorang filistin adalah orang yang berpikiran sempit, tidak mau menghargai atau memandang rendah seni atau produk-produk kebudayaan yang berhubungan dengan seni.

Ada orang yang menjadi filistinik karena menganggap moralitasnya lebih unggul atau superior dari seni. Mereka tidak membutuhkan seni dan menganggap seni hanyalah produk inferior dari manusia.

Filistinisme bisa juga bentuk lain dari anti-intelektualisme. Orang seperti ini tidak menghargai produk-produk kedalaman berpikir. Mereka tidak menghargai ekspresi kedalaman berpikir.

Sulit untuk disangkal bahwa filistinisme sedang naik daun di negeri ini. Sebuah film yang berjudul "Kucumbu Tubuh Indahku" ditolak dimana-mana. Petisi di Change.org sudah menarik kurang lebih 150 ribu penandatangan.

Tuduhannya sangat gamblang: Film ini adalah film LGBT. Alhasil MUI, beberapa bupati (Garut, Kubu Raya) dan walikota (Depok, Padang, dan Pontianak) sudah melarang film ini diputar di wilayahnya.

Patung-patung pun sekarang diberi pakaian. Patung Putri Duyung di Taman Impian Jaya Ancol diberi kemben. Patung telanjang Dewa Hermes, dewa dalam mitologi Yunani, tiba-tiba disaputi kain batik.

Nasib patung-patung tersebut masih lebih baik. Mereka diberi pakaian. Patung Tiga Mojang di Bekasi dirobohkan. Demikian juga patung ikan di Pangandaran.

Yang juga bernasib sedikit lebih malang adalah patung Sultan Ageng Tirtayasa di Serang. Pada tahun 2003, patung ini dirobohkan diam-diam dan dibuang ke sungai Kalimalang di Kota Serang, Banten. Setahun yang lampau, tiba-tiba kepala patung ini nongol lagi. Dia diangkat dari sungai dan dipindahkan ke pinggir jalan. Dibiarkan terlantar.

Patung tidak saja dirobohkan atau ditenggelamkan. Pada tahun 1985, stupa Candi Borobudur juga di bom. Sampai saat ini, saya sering mendengar ada orang-orang yang gatal tangan untuk memusnahkan patung atau benda-benda seni peninggalan masa lalu.

Filistinisme terbaru muncul di Kalimantan Barat. Seperti yang disebut di atas, walikota Pontianak yang bernama  Edi Kamtono sudah melarang film 'Kucumbu Tubuh Indahku.'

Sekarang, Edi Kamtono maju selangkah lagi. Edi memerintahkan minion-minion bawahannya, Satpol PP Pemkot Pontianak, untuk membubarkan peringatan Hari Tari Dunia di Kota Pontianak. Peringatan ini diadakan di Taman Digulis pada Senin kemarin (29/4/2019).

Tidak itu saja. Satpol PP yang didukung oleh ormas Laskar Pemuda Melayu Pontianak ini juga memukul mahasiswa dan dosen//Ketua Program Studi Seni Pertunjukan Universitas Tanjungpura.

Alasan Edi Kamtono tidak lain dan tidak bukan adalah karena menduga acara kesenian itu menjadi acara LGBT. Tidak peduli ada beberapa pejabat negara yang juga hadir di dalam peringatan Hari Tari Dunia itu.

Saya kira, filistinisme ini bukan yang terakhir. Akan banyak filistinisme lain yang muncul. Sikap anti-seni ini menjadi marak karena landasan moral di dalam masyarakat kita juga semakin berubah.

Semakin sedikit orang menari di negeri ini. Para pekerja seni semakin terancam. Bukan saja karena kekuasaan yang mengharamkan seni. Namun juga karena masyarakat yang memilih untuk berpaling pada norma moral yang lain -- yang menafikan, menganggap tidak penting, dan bahkan membenci seni.

Anda boleh ngeri bahwa manusia seperti Edi Kamtono akhirnya memegang kekuasaan sebagai pejabat publik. Dia tidak akan menjadi pejabat publik tanpa ada yang mengangkatnya. Bagian yang paling horor adalah bahwa dia diangkat oleh sebuah proses yang demokratis oleh sebuah masyarakat. Artinya, dia memiliki pendukung.




***

Dari Halaman Facebook
Made Supriatma
Gambar:
Salah satu meme yang dimuat di Brilio

Dimohon komentator menggunakan bahasa yang sopan. Tidak merendahkan, memojokkan dan melecehkan kelompok lain. Terima Kasih
EmoticonEmoticon