Saturday, May 4, 2019


Even besar sekaligus mahal untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin atau wakil rakyat yang populer dengan istilah pemilu atau pemilihan umum telah usai. Perlahan orang-orang yang terpilih sekaligus yang tersingkirkan perlahan-lahan telah nampak.

Sebelumnya, mereka yang merasa mampu menjadi pemimpin dan wakil rakyat berebut hati pemilih agar menjadi yang terpilih oleh rakyat melalui media-media kampanye. Berbagai cara mereka tempuh untuk mempengaruhi masyarakat pemilih. Yang tidak terlalu baik dipoles agar tampak lebih baik bahkan kalau bisa tampak sempurna, jenderal cupu dipoles menjadi jenderal gagah nan pemberani, mulut busuk dipoles agar tampak mulut wangi. Pada akhirnya, masyarakat pemilih hanya tahu apa yang nampak berupa polesan-polesan tadi. Tak ayal, dikalangan masyarakat pemilih timbul kekaguman berlebihan berupa perasaan fanatik.

Tak cukup hanya sampai pada fanatik masyarakat terbelah menjadi kumpulan-kumpulan kecil pendukung calon pemimpin yang sering kali saling menghina, saling menjatuhkan. Tak lebih ini hanya residu pemilihan umum yang tersisa.

Namun, para pemuka agama yang mereka sebut dirinya ulamak, pengasong akhirat yang berada di permukaan kepopuleran sebagian tidak sesegera mungkin menambal kembali keterbelahan ini. Mereka cenderung merawat keterbelahan masyarakat demi meraih kepopuleran lebih, saling melakukan tarik-ulur umat. Seakan berlomba, show of force, menampilkan seberapa banyak umat yang  bisa mereka raih.

Ulamak-ulamak demikian bahkan menikmati posisi mereka dengan melihat umat terpecah, mereka bahagia karena mereka bisa melihat sekaligus menganggap diri mereka benar-benar ulamak sebab bisa melihat umat mereka tampak didepan mata. Karena pada hari diluar momen pemilihan umum ini mereka hanya bisa melihat jumlah like di kolom komentar sosial media mereka.

***

Ditulis sambil ngantuk

Dimohon komentator menggunakan bahasa yang sopan. Tidak merendahkan, memojokkan dan melecehkan kelompok lain. Terima Kasih
EmoticonEmoticon